Rabu, 22 September 2010

1. DEFINISI PAJAK

Menurut Definisi Prancis, termuat dalam buku Leroy Beaulieu 1906 Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja negara

Menurut Dr Soeparman Soemahamidjaja 1964 Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya-biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum

2. DEFINISI HUKUM PAJAK

Menurut R Santoso Hukum Pajak adalah Hukum Pajak( Hukum Fiskal ) adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara.

Hukum Pajak menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak, merumuskan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum , serta latar belakang ekonomi dari keadaan masyarakat

3. RUANG LINGKUP HUKUM PAJAK

HUKUM PAJAK merupakan HUKUM PUBLIK yang mengatur hubungan antara PEMERINTAH dan MASYARAKAT dimana Pemerintah melakukan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat dan Masyarakat Wajib Membayar Pajak4.

4. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN YANG LAIN

Dalam pengaturan HUKUM PAJAK termuat sangksi hukum baik PIDANA maupun PERDATA. HUKUM PERDATA yang merupakan HUKUM UMUM MEMUAT DASAR-DASAR PAJAK EX: PENDAPATAN, KEKAYAAN, PERJANJIAN DLL kemudian HUKUM PAJAK merupakan(LEX SPECIALIS) sedangkan HUKUM PERDATA (LEX GENERALIS). HUKUM PIDANA memuat SANGSI HUKUM yang menimbulkan EFEK JERA PIDANA dan DAMPAK PSIKOLOGI




Senin, 20 September 2010


1. PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum , perbuatan mana di ancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan
SIMONS, hukum pidana adalah keseluruhan larangan-larangan dan keharusan yang pelanggaran terhadapnya dikaitkan dengan suatu nestapa (pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan tentang syarat, cara menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.
MOELJATNO, hukum pidana adalah aturan yang menentukan : a) Perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, serta ancaman sanksi bagi yang melanggarnya, b) Kapan dan dalam hal apa kepada pelanggar dapat dijatuhi pidana, c) Cara pengenaan pidana kepada pelanggar tesebut dilaksanakan
2. FUNGSI HUKUM PUBLIK
1. Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang merugikan
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
3. Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
3. SUMBER HUKUM PIDANA
1. Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasan = MVT yang terdiri dari buku I tentang aturan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran
2. Undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana
3. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
4. Undang-undang Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 tahun 2003)
5. Undang-undang Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 tahun 2002)
6. Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960)
7. Undang-undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika ( UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
4. SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA
a. Sejarah Pembentukan KUHP
Tahun 1795 Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana. tahun 1809 disahkan Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Tahun 1813_ 1886, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu Tahun 1881 WvSNI dibuat
Tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon. KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915
b. Sejarah Pembentukan KUHP di Indonesia
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya ada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan.
Pemberlakukan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.
¢. Sistematika KUHP
Sistematika KUHP (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut:
a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal (Pasal 1-103).
b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal (Pasal 104 s.d. 488).
c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal (Pasal 489-569).
d. Alasan Pembaharuan hukum pidana
a. alasan yang bersifat politik
wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan.
b. alasan yang bersifat sosiologis
suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana.
c. alasan yang bersifat praktis
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
d. Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
1. Hukum Pidana dalam arti objektif dan dalam arti subjektif
2. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
3. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
4. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum Pidana dalam arti objektif
Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Hukum Pidana Subjektif (ius poeniendi)
hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara
3 kekuasaan/hak fundamental negara yakni
1) Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
2) Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan
3) Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya.
Hukum Pidana Materil
van HAMEL Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman.
van HATTUM, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang menujukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum
Hukum Pidana Formil
van HAMEL : hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.
Van Hattum: hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata.
Hukum Pidana Umum
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum.
Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya UU Korupsi
Hukum Pidana tertulis & tdk tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang, yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu dasar hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis)
Hukum Pidana Yang DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, belanda) adalah hukum pidana tersebut telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya (KUHP), (KUHAP).
Sedangkan yang termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah peraturan-peraturan pidana yang terdapat di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang bersifat khusus (van HATTUM)
6. PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA
PENTINGNYA PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA
1. Hukum tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarkat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu acap kali praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
2. Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat sesuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk undang-undang.
3. Pembentuk undang-undang memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undang-undang dibentuk dianggap sangat penting, sesuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan.
4. Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat umum sehingga menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa”
PENAFSIRAN AUTENTIK
Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit
Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001, menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasiltas lainnya.
Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie),
disebut juga penafisran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Contoh : kasus melalui putusan PT Medan memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari unsur benda (goed) dalam penipuan adalah juga temasuk ”alat kelamin wanita”. petimbangan Pengadilan Tinggi Medan yaitu, ”bahwa walaupun berlebihan, dalam perkara ini yg diartikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang.
Penafsiran historis
1) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-pandangan umum, dll
2) Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
7. KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INDONESIA MENURUT WAKTU
ASAS LEGALITAS (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Pasal 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan .
Asas-asas dalam Pasal 1 ayat (1 ) KUHP
1. Asas Legalitas
2. Asas Larangan berlaku surut
3. Asas Larangan penggunaan Analogi
ASAS LARANGAN BERLAKU SURUT
Undang-undang pidana berjalan ke depan dan tidak ke belakang :
X ß--------- UU Pidana -------------à
larangan berlaku surut (dan pengecualiannya) dalam berbagai ketentuan Nasional
1. Ps 28i UUD 1945
2. Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
3. Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000
4. Perpu 1/2002 & 2/2002 à UU 15/2003 ; UU 16/2003
Internasional
1. Ps 15 (1) dan (2) ICCPR
2. Ps 22, 23, dan 24 ICC
3. Ps 28i UUD 1945
4. “… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
5. UU No. 39/ 1999 ttg HAM
6. Ps 18 (2)
Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukan
Ps 18 (3)
Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka
UU No. 26/ 2000 ttg Pengadilan HAM (bisa berlaku surut ?)
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yg. Berat yg. Terjadi sebelum diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dg. Keputusan presiden.
Penjelasan Ps 43 (2)
“ Dalam hal DPR Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yg dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yg terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
UU Anti Terorisme dan Putusan MK
MK membatalkan ketentuan berlaku surut dalam UU Anti Terorisme krn bertentangan dengan UUD 1945
8. Kekuatan berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat
Asas-asas hukum pidana menurut tempat :
1. Asas Teritorial.
Pasal 2
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
“Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
2. Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa (Immunity and Previlege).
Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.
Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.
Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain.
Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.
Pejabat-pejabat badan Internasional.
Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.
3. ASAS PERSONAL ATAU ASAS NASIONAL
Pasal 5
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia ditetapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan:
1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
3. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.
4. Asas nasional aktif / Perlindungan
Asas yang berdasarkan kepentingan hukum pidana menurut atau berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi dari suatu negara yang dilanggar diluar negara indonesia
“KETENTUAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DITERAPKAN BAGI SETIAP ORANG YANG MELAKUKAN DI LUAR INDONESIA :
Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
kepentingan nasional, yaitu :
1. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
2. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
3. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
4. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4)
5. Asas Universal
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14”
9. PEMIDANAAN
1. alasan-alasan penghapus pidana
1. Alasan Pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund).
2. Alasan Pemaaf (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund).
ALASAN PEMBENAR
Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.
PEMBAGIAN ALASAN PEMBENAR
Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah
1. Pasal 48 (keadaan darurat),
2. Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa),
3. Pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan
4. Pasal 51 (1) (perintah jabatan).
ALASAN PEMAAF
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum.
PEMBAGIAN ALASAN PEMAAF
1. Pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab),
2. Pasal 49 ayat (2) (noodweer exces),
3. Pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP.
1. TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44) :
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit.
2. DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP).
Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa”.
overmacht (daya paksa) :
1 vis absoluta (paksaan yang absolut).
2 vis compulsive (paksaan yang relatif).
vis absoluta (paksaan yang absolut).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan.
Contoh : tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP).
vis compulsive (paksaan yang relatif).
daya paksa relative (vis complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena penagruh daya paksa”).
Contoh :
A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati.
3. KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP).
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak mengadakan pembedaan tersebut.
3 bentuk dari keadaan darurat :
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.
3. Pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum :
Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum :
Mis: Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan atasannya untuk melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya.
Pertentangan antara dua kepentingan hukum
Contoh klasik : “papan dari carneades”.
Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari CICERO).
Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.
Misal :
Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.
4. BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT (PASAL 49 AYAT (1)).
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”.
5. BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP)
(pelampauan batas pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”.
syarat-syarat sebagai berikut
Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan proporsionalitas Disini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.
Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa takut, bingung, dan mata gelap.
kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah tersinggung.
6. MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG (PASAL 50 KUHP).
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”.
7. MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)).
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.
hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);