Sabtu, 11 September 2010

  1. Pendahuluan

Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke yatsrib kemudian disebut Madinah merupakan tonggak awal dan babakan baru sejarah yang menandai lahirnya masyarakat (negara) Islam. Di sini beliau mulai meletakan dasar-dasar (fondasi) bagi terbentuknya suatu masyarakat islam yang mandiri. Masyarakat tersebut lebih dikenal dengan term ‘ummah’, yang didasarkan pada suatu dokumen tentang konstitusi Madinah.

Bertolak dari dokumen tersebut, tampaknya para peneliti dan sejarawan, baik muslim maupun barat, sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan ‘ummah’ disitu bukan ummat(masyarakat) islam atau paling tidak masyarakat yang berorientasi religius, tetapi lebih ditujukan pada suatu masyarakat dengan kepentingan yang sama tanpa memperhatikan kepercayaan dan kebangsaan (keturunan)[i] yaitu teoritis.

Namun, dengan pengertian diatas kita akan menemukan sedikit kesulitan, ketika kita mencoba untuk mengkajinya kembali secara historis maupun linguistik. Ditinjau dari pengertian kebahasaan dan juga merujuk kepada Al Qur’an, pengertian ummah seperti diatas ternyata tidak begitu tepat, sebagaimana akan dipaparkan dalam uraian selanjutnya. Demikian pula, secara historis menurut penelitian penulis, terdapat inkonsistensi ketika orientasi religius dan pengakuan terhadap kenabian Rasullah SAW tidak diperhatikan mengingat figur sentral belia. Menurut sejaharawan barat term tersebut merupakan konsep baru yang diambil oleh nabi bahasa lain.[ii]

Konsep ummah (masyarakat) yang memasukkan semua golongan yang mempunyai pengaruh politis didaerah territorial tersebut, sementara ancaman sewaktu-waktu dapat datang dari territorial lain, tanpa melibatkan dimensi agama sebagai fokus pengikat suatu komitmen ternyata mempunyai konsekuensi logis dan implikasi tertentu. Tor Andrea mengatakan bahwa tujuan politis nabi untuk mengembangkan pengaruh lebih luas telah dirintis beliau berada diMakkah hanya sebagai rasul yang saleh, dengan program religius yang murni dan tanpa tujuan-tujuan yang dihubungkan dengan politik dan sosial apapun adalah suatu kebohongan.[iii]

Berangkat dari pernyataan-pernyataan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana sebenarnya konsep ummah menurut piagam Madinah kalau dihubungkan dengan konteks sejarah pada waktu itu sehingga dapat diketahui mengapa yang muncul ke permukaan adalah pengertian ‘political community’bukan’religous community.

Menurut dugaan sementara penulis, konsep ummah yang dipergunakan oleh Nabi tetap bersumber dari term bahasa arab dan merujuk kepada Al-Quran sehingga orientasi ummah yang beliau terapkan adalah religius, karena dalam piagam tersebut tampak dominasi Nabi dan Kaum Muslimin. Hal ini sama sekali tidak mengurangi nilai toleransi kehidupan beragama karena prinsip-prinsip tersebut tetap diutamakan

  1. Ummah dalam Al-Quran

Kata-kata ummah dalam Al Quran disebutkan sebanyak 51 kali, sedangkan dengan kata-kata umum disebutkan sebanyak 13 kali.[iv] Kata-kata tersebut, sesuai dengan konteksnya mempunyai beberapa arti. Pertama, masa ( al-hin ) sebagaimana tersebut dalam surat Hud ayat 8 dan surat yusuf ayat 45.[v] Kedua, agama (ad-Din) sebagaimana tersebut dalam surat al –Zuhruf ayat 22.[vi] Ketiga, generasi (al-Jill) sebagaimana dalam surah al A’raf ayat 38, Fushshilat ayat 25 dan al-Ahqaf ayat 18.[vii] Keempat, binatang sebagaimana dalam surah al-An’am ayat 38.[viii] Kelima .............sebagaimana dalam surah Al-.............. ayat 20.[ix]

Selain pengertian-pengertian khusus seperti diatas, pada umumnya kata ummah lebih banyak digunakan dalam arti suatu jamaah manusia yang diutus padanya seorang Rasul, baik mereka beriman maupun tidak. Jadi kata ummah mengandung ke notasi pada sekelompok manusia yang dipimpin oleh seorang Nabi yang lebih ditekankan pada masalah-masalah keimanan, walaupun tidak bisa dilepaskan dari masalah politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Setiap generasi atau bangsa terdahulu selalu ada seorang nabi atau rasul ysng diutus kepada mereka, lalu mereka disebut ummah nabi ini atau nabi itu dan seterusnya. Dan juga bisa berarti hanya mereka yang menjadi pengikut nabi tersebut. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa kaum muslimin adalah sebaik-baiknya ummat.[x] Selain itu manusia secara keseluruhan merupakan satu ummat (ummatan wahidatan) dalam arti menjadi objek atau sasaran dakwah dan kembalinya mereka kepada al-Khaliq, yang kemudian berselisih atau mengambil jalannya masing-masing.[xi]

Dengan demikian kata ummat dalam al-Qur’an ada tiga pengertian. Pertama, setiap generasi manusia yang kepada mereka diutus seorang rasul. Kedua, setiap generasi manusia yang menganut satu agama, dan ketiga seluruh golongan/jenis manusia yang mempertanggungjawabkan urusannya kepada Tuhan. Semua pengertian itu berkonotosi religius, yakni berangkat dari aspek religius menuju sosial atau politik bukan sebaliknya. Disini keterkaitan tempat atau masa juga tidak bisa dilepaskan,namun keduanya bukan hal yang menentukan, karena pernah disebut tempat tertentu atau ummat masa tertentu.

Menariknya kiranya untuk menghubungkan pengertian ummah, yang diambil dari Al Qur’an dengan term society atau community, yang merupakan istilah asing. Karena kata ummah sering diartikakan dengan nation atau people (bangsa).Community (masyarakat) adalah sekelompok orang yang memiliki organisasi atau inters umum, atau hidup ditempat yang sama dibawah hukum dan undang-undang yang sama pula.[xii] Demikian pula ummat adalah sekelompok manusia yang kebanyakan mereka berasal dari satu pokok (induk), yang dihimpun oleh sifat-sifat warisan, kemaslahatan dan keinginan yang sama, atau dihimpun oleh satu urusan: agama, tempat atau masa.[xiii]

Namun ada perbedaan mendasar antara keduanya, bukan dalam penerapan, tetapi dalam titik tekan dan konotasi yang ditimbulkan. Sebagaiman telah dikemukakan, ummat dalam al-quran lebih banyak berkonotasi dan untuk menunjukkan ummat agama. Sedangkan community lebih banyak berangkat dari permasalahan sosial dan untuk kepentingan sosial, dan mengarah kepada perkembangan yang relatif baru. Jadi, meskipun dianggap tepat, akan ditemui sedikit kesulitan untuk mengaitkan kedua istilah tersebut.

Mengenai asal usul kata ummah dalam Al Qur-an dengan cukup panjang telah diuraikan oleh W.M.Watt.[xiv] menurutnya perkembangan yang terjadi dalam Al Qur-an dapat diamati dalam pengertian ummah.[xv] Selanjutnya, kata itu bukan berasal dari kata ‘umm’(ibu, tetapi diambil dari bahasa sumeria, yang masuk kedalam bahasa arab pada periode awal.[xvi] Juga dikatakan oleh penulis barat lain bahwa kata tersebut diambil dari bahasa ibrani’umman’ atau bahasa Araminya’ummiysan’ yang menurutnya, diambil dan dipakai oleh Muhammad dan semenjak saat itu menjadi lafaz asli islam.[xvii] Tapi kedua pendapat itu telah dibantah oleh Ahmad Muhammad Syakir yang merupakan taliq ensiklopedi Islam.[xviii]

  1. Ummah dalam Piagam Madinah

Piagam Madinah adalah suatu dokumen perjanjian yang di buat oleh nabi dan suku-suku arab madinah yang disebut kaum anshar, segera setelah beliau tiba di madinah. Penduduk madinah sesudah itu terdiri atas tiga golongan, yaitu : kaum muslimin, yahudi dan bangsa arab yang belum menganut agama islam. Rasullulah Saw hendak menciptakan suasana bantu membantu, dan sifat toleransi antara golongan-golongan tersebut, karena itu beliau membuat perjanjian antara kaum muslimin dengan kaum non muslimin. Ibnu mishaq telah menyebutkan isi-isi perjanjian itu.[xix] Pembukaan dokumen tersebut berbun yi:

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah tulisan (piagam) dari Nabi Muhammad SAW antara Mu’minin dan muslimin dariu Quarisy Yatsrib dan orang-orang yang mengikuti mereka, bergabung dan berjuang bersama-sama dengan mereka.

Mereka adalah satu masyarakat (ummah) yang mandiri, berbeda dari yang lain..........”[xx]

Dalam dokumen itu disebutkan golongan-golongan yang terlihat dalam perjanjian, yaitu:

1. Muslimin dari Quraisy

2. Muslimin dari Yastrib

3. Orang-orang yang bergabung dan berjuang bersama mereka

Mereka disebut ‘Ummatan Wahidatan’ yaitu suatu ummat yang mandiri yang berbeda dari orang (ummat lain). Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu dianalisa lebih dalam. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, term ummat dalam Al Qur’an lebih cenderung kepada masyarakat agama. Sedangkan term ummat dalam piagam madinah, walaupun terjadi interaksi dengan kaum yahudi, tentu saja mempunyai kaitan erat dengan dalam A-Qur’an. Hal ini karena tugas utama Nabi adalah sebagai Rassulullah dan misi dibawah beliau adalah misi agama bukan misi sosial atau politik karena tidak ada bukti bahwa negosiasi yang dilakukan oleh Nabi SAW dengan orang-orang Yatsrib sebelum Hijrah, yaitu yang disebut dengan ‘bai’it al Aqobah ‘ I dan II merupakan negosiasi politik, tetapi semata-mata dalam rangka dakwah islam.

Untuk menganalisa pengertian ummah yang disebutkan dua kali dalam piagam tersebut, penulis mencoba meninjaunya dari dua arah. Pertama, ditinjau dari segi kebahasaan. Dalam teks seperti yang dikutip diatas, yang termasuk dalam kategori diatas, yang termasuk dalam kategori ummat adalah orang islam, baik muhajirin maupun Anshar, dan orang-orang yang mendukung mereka. Jadi jelas secara eksplisit ummat tersebut adalah ummat islam dan orang yang bersimpati dengannya dengan rasullulah sebagai pemimpinnya. Hal ini dibuktikan dengan isi perjanjian bahwa seandainya ada perselisihan atau perdebatan yang berkepanjangan yang bisa menimbulkan kesulitan haruslah dikembalikan Allah dan RasulNya.[xxi]

Selanjutnya kata-kata ‘Ummatan Wahidatan min dun al-Nas’ mengisyaratkan kekhususan terhadap mereka yang melakukan perjanjian tersebut. Min dun al-nas disini berarti orang-orang diluar mereka,yang tidak bergabung dan berjuang bersama-sama dengan mereka. Kemudian pada pasal 25 disebutkan bahwa Yahudi Banu Awf ‘ummatan ma’al-mu’minim(satu ummat beserta orang mukmin). Kata-kata tersebut bisa berarti bahwa suku-suku yang beragama yahudi merupakan ummat yang tersendiri yang pararel (sejajar) dengan orang mukmin dan mempunyai hak-hak dan kewajiban yang sama. Kalau demikian, maka jelaslah pengertian ummat disini adalah ummat agama. Namun alasan ini tidak kuat dan sulit diterima, karena tampak kontradiksi dengan kata ummat sebelumnya, dimana suku-suku yahudi tersebut digolongkan dalam ummatan wahidatan. Jadi ummatan ma’al-mu’minin berarti bahwa mereka bersama dengan orang mukmin adalah satu ummat;atau sebaliknya, ummatan wahidah khusus bagi orang muslim Quraisy (Muhajirin) dan muslim dari yatsrib (Anshar), dan suku-suku yang disebutkan dalam berikutnya lebih menekankan pada hak dan kewajiban mereka, bukan keterlibatan mereka dalam ummat. Dalam hal ini penulis lebih cenderung pada keterlibatan semua golongan yang tercantum pada piagam pada satu ummat, dengan alasan bahwa kata ummat disebutkan dua kali dengan pengulangan nama-nama golongan yang sama sebagai anggota ummat tersebut.

Selanjutnya kedua, penulis mencoba menganalisa dari tinjauan historis. Sebagaimana diungkapkan oleh banyak sejarawan, muslim maupun barat, bahwa ketika Rassulullah Saw, beserta kaum muhajirin tiba di madinah, disana telah dua golongan besar yang mempunyai pengaruh kuat, yang saling bertikai. Kedua golongan tersebut adalah bangsa bangsa arab dan yahudi. Bangsa arab disini, yang besar, ada dua yaitu suku aws dansuku khazraj yang datang dari selatan.[xxii] Sedangkan bangsa yahudi ada 3 yaitu kaum Qainuqa, banu Nadhir dan Banu Quraizhah.[xxiii] Dalam hal ini, ada satu hal yang sedikit membingungkan, yaitu bahwa banu aws dan banu quraizhah.yang dikatakan sebagai bangsa arab dengan beberapa klan-klan (suku kecil)nya, dalam piagam madinah disebut sebagai kaum yahudi. Di sini penulis untuk menentukan status ke yahudiaan mereka, apakah agama atau kebangsaan. Tetapi berdasarkan keterangan bahwa kedua suku tersebut sebelum islam datang selalu berperang dengan bangsa yahudi yang berada di Madinah, maka penulis berkesimpulan bahwa mereka adalah bangsa arab yang sebagiannya beragama yahudi. Demikian pula, tidak disebutkannya ketiga suku yahudi tersebut diatas cukup menimbulkan beberapa pertanyaan dan interpretasi berbeda-beda. Watt menduga bahwa ketiga suku tersebut sudah termasuk dalam suku-suku yang tercantum dalam piagam, berdasarkan tinjaun territorial.[xxiv] Kemungkinan islam adalah bahwa piagam madinah terjadi dalam beberapa tahap dan dokumennya yang lengkap yang telah direkam oleh Ibn Ishaq adalah bentuk revisi akhir, dimana ketiga suku yahudi tersebut telah terusir dari madinah, sehingga hanya golongan yang tetap memegang perjanjian sajalah yang dicantumkan dalam piagam.[xxv]

Untuk menyelidiki lebih lanjut tentang hal itu, ada baiknya meninjau sedikit kebelakang, yaitu pada masa sebelum hijrah. Pada periode Makkah, Rasullulah Saw telah berdakwah dengan gigih menyiarkan agama islam, namun hanya memperoleh sedikit sekali pengikut. Kaum muslimin tersebut semakin hari semakin mendapat penganiayaan berat dari kaum musrikin Makkah. Melihat hal itu Nabi memerintahkan pengikutnya untuk berhijrah, diantaranya ke madinah. Disamping itu berita tentang berita tentang muncul Nabi di Makkah telah sampai pada penduduk Madinah. Hal ini ternyata mengembirakan mereka, terutama suku Aws dan Khazra, karena mereka telah mendengar sebelumnya dari kaum yahudi di madinah. [xxvi] oleh karena itu terjadilah kontak dengan nabi keti mereka melakukan haji setiap tahunnya ke Makkah, yang diketahui dengan perjanjian Aqabah. Dalam baiat tersebut mereka sepakat untuk meminta Nabi ke Madinah dan menjamin beliau. Golongan-golongan inilah yang kemudian tercantum dalam piagam madinah. Satu hal lagi yang perlu diingat, yaitu bahwa suku-suku ini melalui wakilnya telah masuk islam, walaupun sebagian dari mereka tetap beragama yahudi, dan mengakui Nabi Sax sebagai pemimpin dan pemersatu mereka.

Setelah tiba di madinah segera nabi mengambil langkah-langkah inisiatif menuju pembentukan suatu masyarakat islam, diantaranya dengan membuat suatu piagam perjanjian, yang istilahnya pada waktu itu adalah ‘shalifah’.[xxvii] Ada dua hal yang mempersatukan suku-suku tersebut yang sebelumnya saling bertikai dan kedua, mempersaudarakan mereka dengan kaum muhajirin dari Makkah. Dengan demikian suku aws dan khazraj itulah tampaknya yang disebut golongan anshar. Di sini perlu kehati-hatian untuk menentukan posisi banu aws dan khazraj. Pertama mereka adalah wakil-wakil yang menjadi delegasi dalam bai’at al aqabah. Kedua, mereka pulah yang disebut orang yahudi yang disebut dalam piagam madinah, yang diberi wewenang untuk tetap dalam agama mereka. Kedua hal itu tampak diktif, karena disatu sisi mengisyaratkan bahwa mereka muslimin dan di sisi lain mereka yahudi.

Dari uraian diatas, tampaknya tidak semua pendukung pihak madinah itu muslim, tetapi masih ada yang non muslim. Piagam ini menunjukkan ciri masyarakat islam. Hal ini dapat diuraikan dengan beberapa pokok pikiran. Sejak awal Nabi Saw diminta oleh kaum Anshar untuk menyebarkan islam di Madinah, dengan dukungan jiwa dan raga dari mereka. Persaudaran antara Muhajirin dan dan Anshar merupakan potensi yang sangat besar bagi terbentuknya masyarakat islam. Selanjutnya kaum Anshar berasal dari suku-suku bani Aws dan khazraj, yang jelas disebutkan dalam piagam madinah. Dan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum ummat diselesaikan dengan prinsip-prinsip islam. Dengan demikian, berdasarkan teks dan konteksnya, ummat dalam piagam madinah lebih menjurus pada masyarakat atau benih awal negara islam.

  1. Masyarakat Islam dan hubungannya dengan toleransi hidup beragama

Pembentukan masyarakat islam dimulai dengan peristiwa Hijrah. Usaha pertama yang dilakukan oleh Nabi Saw adalah mendirikan mesjid, yang menjadi simbol dan pusat pemerintahan. Usaha kedua adalah mendamaikan antar suku-suku dari bani aws dan Khazraj dan menggolongkan mereka dalam kaun Anshar, selanjutnya mempersaudarakan mereka dengan kaum muhajirin. Usaha ketiga adalah mengadakan perjanjian-perjanjian yang dapat mengikat semuanya dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang disepakati, karena warganya masih kental dengan kesukuannya dan adanya pemeluk agama selain Islam.

Masyarakat Islam yang dimaksudkan di sini bukan merupakan berarti masyarakat muslim atau khusus orang-orang yang beragama islam, tetapi titik tekannya adalah pada urusan pemerintahan dan pemutusan perkara yang terletak di tangan kaum muslimin serta prinsip-prinsip islam yang diterapkan didalamnya. Rasulullah Saw yang menjadi pemimpin masyarakat (negara) adalah pemimpin politik, walaupun kemampuan politik dan ketatanegaraan beliau tidak diragukan oleh semua orang.

Sebenarnya perbedaan dalam menetapkan karakter ummat dalam piagam madinah berpangkal dari dua visi yang berbeda. Konsep yang mengatakan bahwa ummat tersebut sama sekali tidak bertendensi religius berangkat dari visi bahwa islam sangat menekankan toleransi beragama, dan menghilangkan sikap kesukuan menuju nasionalisme. Lalu kalau ummat dipahami sebagia ‘religious community’ dimanakan letak toleransi kehidupan beragama dan bagaimana hubungannya dengan masyarakat islam diatas.

Dalam masyarakat islam kemerdekaan bagi orang-orang yang beragama selain islam tetap diperhatikan dan dihormati[xxviii] dan mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana orang islam, karena mereka berada di bawah ‘dzimmah’ Allah dan Rasulnya.[xxix] Kedudukan non muslim dalam ummat adalah sebagai orang-orang yang bergabung dan tunduk di bawah masyarakat islam tanpa ada deskriminasi sama sekali.

Kerukunan beragama ini lebih banyak disoroti karena memang pada awalnya piagam Madinah merupakan perjanjian-perjanjian antara muslimin dan yahudi. Namun tidak bisa dipastikan apakah berimplikasi politis atau tidak, mengingat tidak disebutkannya tiga suku besar Yahudi dalam Piagam Madinah.

  1. Penutup

Piagam Madinah yang secara lengkap pada masa sekarang ini berasal dari sumber satu-satunya, yaitu dari kitab sirat Rasullilah karya Ibn Ishaq, yang telah diterjemahkanoleh Alferd Guillaume ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Life og Muhammad. Piagam ini selama lima tahun dalam sejarah pertumbuhannya telah mengalami beberapa kali penambahan pasal-pasal.

Setelah menganalisa piagam tersebut dari segi kebahasaan dan konteks historisnya dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ‘ummat’ di dalamnya adalah masyarakat islam; komponen-komponen masyarakat tersebut adalah muslimin Muhajirin, Muslimin Anshar dan Yahudi (non muslimin) yang bergabung dan tunduk dibawah pemerintahan islam; dalam masyarakat tersebut kemerdekaan berpendapat, beragama dan menjalankan hak-hak pribadi tetap dilaksanakan; dan piagam madinah merupakan salah satu upaya pembentukan masyarakat(negara) Islam.

Mengingat penelitian ini hanya berkisar pada piagam madinah dan khususnya konsep ummat, maka di sana-sini dirancang dirasakan masih banyak terdapat kekurangan, terutama tidak bisa diketahui dengan jelas perihal suku-suku dari bangsa yahudi di Madinah. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut pembentukan dan karakter negara islam sangat berkaitan erat dengan penelitian ini. Dan terakhir karena kurangnya bacaan dan kelemahan penulis, maka hasil penelitian ini tidak maksimal, dan banyak memerlukan kritikan yang lebih tajam.