“Dipidananya seseorang tidaklah cukup hanya apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana” (Prof. Sudarto,S.H.)

Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak selalu dapat dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang itu tidak cukup dilakukannya tindak pidana saja tetapi juga harus memenuhi pula adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Prinsip diatas adalah suatu adagium atau maxim yang sudah lama dianut secara universal dan telah menjadi asas dalam hukum pidana, yaitu “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” atau biasa juga disebut dalam berbagai bahasa yang populer, yaitu;
Actus non facit reum, nisi mens sit rea
Nulla poena sine culpa
Geen straf zonder schuld
Ohne schuld keine strafe
An act does not make a person legally guilty unless the mind is legally blameworthy

Dalam KUHP, asas ini tidak secara tegas tercantum dalam KUHP. Namun demikian terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang secara implisit mengakui berlakunya asas ini, antara lain pada pasal 44, 48 sampai dengan 55 KUHP, dimana pasal-pasal tersebut mengatur ketentuan-ketentuan tentang tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang disebut dengan alasan-alasan peniadaan pidana (Strafuitsluitingsgronden).
Sementara dalam Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” diakui sebagaimana Pasal 6 ayat 2 yang berbunyi;
“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”
Dan asas ini juga akan dipertegas lagi jika RUU KUHP 2004 diberlakukan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat 1 yang berbunyi:
“Tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan.”
Yang kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 36 ayat 1:
”Seseorang hanya dapat dipertanggungjawabkan jika orang tersebut melakukan tindak pidana dengan sengaja atau karena kealpaan.”
Berhubungan dengan adagium diatas, seseorang hanya dapat dijatuhi pidana bukan hanya karena seseorang tersebut telah melakukan perilaku lahiriah (outward conduct)yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut umum, tetapi juga bahwa pada waktu perbuatan itu dilakukannya, orang itu harus memiliki kondisi jiwa atau disebut pula oleh Prof. Sutan Remi Sjahdeini,S.H. sebagai sikap kalbu (state of mind) tertentu yang berhubungan secara langsung dengan perbuatan itu.
Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa/sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element) (Jones dan Card).
Kesalahan dan unsur-unsurnya
Kesalahan adalah merupakan terjemahan dari perkataan (bahasa) Belanda yaitu “Schuld” yang mempunyai arti menurut pengertian dalam hukum pidana berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa).
Selain itu, kesalahan juga telah diartikan oleh para pakar, yaitu diantaranya;
1. Simons, menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya. Sehubungan dengan uraian tersebut beliau mengatakan bahwa untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu;
a. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
b. Hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan
c. Dolus atau Culpa
2. Utrecht, menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hokum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu:
a. Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat
b. Suatu sikap psykhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yakni:
i. Kelakuan disengaja (anasir sengaja), dan
ii. Kelakuan adalah suatu sikap kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin).
c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir toerekeningsvatbaarheid).
3. Roeslan Saleh, pendapatnya sama dengan pendapat Utrech serta mengikuti pendapatnya Moeljatno, bahwa pertanggung jawaban pidana adalah KESALAHAN, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah:
a. Mampu bertanggung jawab
b. Mempunyai kesengajaan atau kealpaan
c. Tidak adanya alasan pemaaf
4. Mezger, menyatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya percelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana”. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa didalam pertanggung jawaban pidana semua unsur kesalahan tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah:
a. Melakukan perbuatan pidana,
b. Mampu bertanggung jawab
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan
d. Tidak adanya alasan pemaaf

1 komentar: